Sabtu, 18 Oktober 2008

Pesan Cinta dari Pelangi

Telusur Bunga

Bukan mawar merahmu! / Tidak merona dan memikat / Tidak menyengat dan menggoda / Tidak menjebak dan menusuk ______ Hanya melati putih nan sederhana / Mewangi dan menentramkan / Menawan dan terjaga / Namun tetap bukan milikmu!

Sabtu, 15 Maret 2008

CHECK THIS OUT

Karena suatu hal dan yang lainnya, Sahabat Kebaikan kini juga bisa dikunjungi di judithalfatih.multiply.com. Ditunggu kunjungannya ^_^

Jumat, 07 Maret 2008

PEMUDA LINTAS MASA

“Juned…” seru Apa, kakekku, berulang-ulang. Tak perlu bingung mencari orang yang rela dipanggi Juned kala tak satu orang pun bernama Juned di rumahnya sore itu.Ya, Juned adalah Judith, Judith adalah Juned. Tak perlu ada bubur merah dan bubur putih. Terima saja. Bicara Apa memang sudah kelu setelah kesehatannya drop beberapa bulan yang lalu. Kami cukup kesulitan memahami setiap ucapannya. Acap kali beliau marah karena ketidakmengertian kami. Karenanya, kami harus berhati-hati, jangan sampai beliau kesal.______ Selain kelu, suaranya tak lagi lantang. Tubuhnya yang dulu begitu gagah, kini hanya bagian kanannya saja yang bisa digunakan. Apa turun dari kasurnya dan terduduk atas lantai. Tangannya kepayahan menggeser atau bahkan untuk sekadar menopang tubuhnya sendiri. Entah sudah berapa lama Apa bertahan pada posisi demikian sampai akhirnya saya datang menghampirinya. “Ya Allah… Apa mau kemana?”, tanyaku. Sebuah senyuman menghiasi wajahnya yang keriput. Binar matanya memancarkan semangat yang tak terpadamkan. “Sudah hapal…”, jawab Apa sambil menunjukan catatan Al-Fathihahnya… ______ Subhanallah… baru kemarin. Setibanya saya di rumahnya yang asri ini, Apa bercerita dengan lisannya yang kelu, bahwa hafalannya hilang seketika, “Mau sholat, tapi lupa…”. Saya tidak bisa memahami benar apa maksudnya. Yang jelas, beliau meminta Juned menuliskan lafaz surat Al-Fatihah dan terjemahnya pada sehelai kertas. “Ya… ya..”, ujar beliau gembira. Beliau beberapa kali meminta Juned membacanya. “Benar… benar,” begitu katanya setiap kali Juned selesai membacanya.______ Ah, Apa… Rasanya juga seperti baru kemarin beliau dengan gagah mengisahkan perjuangannya saat muda mempertahankan Bandung Selatan kala peristiwa lautan api berlangsung. Atau, serunya beliau mendengarkan langsung orasi Bung Karno di lapangan Banteng sambil memekikkan kata “merdeka!”. Saya juga masih merekam jelas lisannya menceritakan lembar demi lembar buku “Di Bawah Bendera Revolusi” buah karya idola dan mas’ulnya saat itu. Orde lama benar-benar sangat berpengaruh bagi mantan tentara PETA ini. Loyalitas yang begitu kuat, pemikiran yang begitu lekat, semangat yang begitu pekat. Sayangnya, zamannya tidak kuasa membangun keperkasaan ruhani yang gagah…______ Buku-buku nasionalis dan fisafat adalah fitur utama koleksinya. Bi’ah islam sama sekali tidak mendominasi keluarga yang ia bangun. Ukhrawi adalah prioritas ke sekian. Kebahagian keluarga adalah orientasi utama. Salahkah? Tidak juga. Hanya saja terlalu fana dan gersang. Barulah setelah anak-anaknya berkeluarga, tepatnya setelah masa “reviva” tarbiyah di Indonesia pada 2 dekade terakhir ini, ruh islam itu baru sedikit berhembus. Dimulainya era “keterbukaan” akhirnya semakin menguatkan sentuhan dan penerimaan dakwah. Disadari atau tidak, umat adalah saksi perbaikan ini…_____ Pemuda memang rahasia kekuatan dari setiap kebangkitan. Setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing. Setiap marhalah, ada rijalnya tersendiri. Namun, setiap karya dibatasi waktu sebagaimana masa muda yang sementara saja. Kemanapun telah kau langkahkan kakimu… Bersiaplah karena kita pernah tahu kapan perjalanan kita akan berakhir pada batas yang tiada akhir. Bukankah sebaik-baik amal adalah yang di akhir? Semoga kita dapat mengakhiri hidup ini dalam keadaan yang baik. Allahumma inna nas-aluka husnul khatimah… (Bandung,070308. Semoga Allah sll sayang)

Rabu, 05 Maret 2008

CEPATLAH MENJADI KUPU-KUPU

Adalah saya sebagai orang pertama yang merasakan nuansa aneh di rumah. Serangan yang selalu melanda setelah menggunakan air dari kamar mandi belakang adalah merupakan dari misteri ini. Tidak ada orang yang sepakat dengan fenomena yang saya utarakan ini awalnya. Semula mereka menuduh bahwa saya berimajinasi terlalu tinggi dan mengalami skizofrenia (ga segitunya sih). Yang jelas saya tertuduh sebagai orang yang kurang bisa jaga kebersihan. Enak aja! Memangnya saya upik abu (lho?). *** Hari berganti hari. Akhirnya warga rumah saya merasakan serangan yang serupa. Mulai dari Mbak Ruli, Mang Ujang, Bapak, Ibu, Aa’, Teteh, pokoknya siapa saja yang bisa masuk kijang (?). konferensi internal rumah pun digelar guna menyelesaikan masalah ini. Insting detektif Conan saya mengatakan bahwa ada yang salah dengan air di rumah kita. Ini berarti berkaitan erat dengan tangki air yang berada dekat dengan dengan perkebunan salak atau bisa kita sebut dengan kebon salak. Hipotesa awal kami terima dari pendapat ibunya Wili (tetangga saya) bahwa hal ini dilatari dengan tumbuhnya pohon-pohon bamboo di belakang rumah saya. Angin yang menghempas tumbuhan bamboo yang masih kecil itu biasa menerbangkan serbuk kecil yang bersifat gatalik (baca: menyebabkan rasa gatal, red). Serbuk-serbuk itulah yang jatuh di tangki air dan menyebabkan fenomena gatal masal ini. *** Jadilah kami sekeluarga menganut ideology caduibakisme (baca: cadu-ibak-isme. Taken from Sundaness, means jarang mandi ^_^) guna menghindari gatal yang diakibatkan oleh air rumah kami. Tak sampai berapa lama, kami tak tahan dengan kebijakan ini karena badan kami tetap saja gatal (ya iyalah, sapa suruh kagak mandi…). Dengan demikian, hipotesa 1 tertolak. Insting Conan saya kembali berjalan. Saya mencurigai penghuni sebelah adalah pelaku sabotase air rumah kami (walaupun jelas ini belum seberapa dibandingkan sabotase air dan listrik warga Gaza oleh Zionis la’natullah’alaihim). Benarlah, pagi hari tepat sebelum A Fahmi (korban 1) berangkat, pelaku ketangkap basah tengah melakukan aksinya. Ia mendarat tepat di tubuh Fahmi di ruang dekat belakang yang kemudian kami sepakati sebagai TKP. Korban selanjutnya adalah Kukuh dan Fajar (murid saya). Namun, kali ini aksi pelaku tidak ketahuan. Beberapa hari kemudian, pelaku kedapatan kembali melakukan aksinya terhadap Pak Syarif and the genk saat memperbaiki kendaraan keluarga kami, lalu beraksi juga tepat di tangan kiri Mang Ujang, disusul oleh Mpok Ati yang sedang mampir ke rumah. Tidak kurang 10 orang sudah menjadi korban… *** Berikut adalah ciri pelaku. Nama: U**t B**u. Bertubuh kenyal. Tinggi sekitar 0,5 sampai 1,3 cm. Panjang 2 sampai 6 cm. Gondrong alias berbulu lebat. Hidup di lingkungan seperti sebelah rumah saya, tepatnya sekitar pepohonan dan aktif di musim penghujan. Hidup dalam beberapa minggu dan kemudian akan mengalami tahap metamorfase selanjutnya, yaitu menjadi kepompong dan kupu-kupu yang indah. *** Tidaklah Allah menciptakan sesuatu begitu saja tanpa suatu haq (“Ya Tuhan kami, tiada-lah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” - QS. Ali 'Imran, 3: 191). Sungguh, adalah kewajiban bagi manusia untuk dapat melihat tanda-tanda kebesaran Allah…. Dengan demikian, orang tersebut akan mengenal Sang Pencipta yang menciptakan dirinya dan segala sesuatu yang lain, menjadi lebih dekat kepada-Nya, menemukan makna keberadaan dan hidupnya, dan menjadi orang yang beruntung dunia dan akhirat. *** Ulah perlindungan diri ulat bulu seperti tadi mungkin memang sepele saja. Namun, bukankah kita (seharusnya) sudah sepakat akan hikmah besar dari tahapan hidup si ulat (telor-telor, bulet-bulet, kepompong, kupu-kupu, kasian…. Terusin sendiri deh). Menjijikan, bahkan mungkin menakutkan bagi sebagian orang. Tunggu saja beberapa pekan lagi, niscaya akan kau dapati si ulat gondrong tadi telah menjadi kupu-kupu nan indah. Perjalanan menuju keindahan memang butuh proses… yang tidak selalu indah. Namun, jangan biarkan nafsu isti’jalmu memaksanya segera berubah karena itu hanya akan menyakitinya saja. *** Mungkin sepele saja. Namun, ingatlah bahwa 2 hal yang paling sering melalaikan manusia; yaitu nikmat waktu luang dan nikmat sehat. Jadi…, gatalkah tubuhmu hari ini? Jika tidak, berarti tubuhmu cukup sehat. Oleh karena itu, bersyukurlah dan berdoalah agar ulat bulu itu segera menjadi kupu-kupu...

Rabu, 27 Februari 2008

Tahfizh Qur'an

Satu semester! Satu semester! Astaghfirullahal’azhim… kata-kata itu begitu terngiang. Boro-boro 2 juz dalam satu semester kali ini, 1 juz saja ngos-ngosan bari jeung teu nyesa keneh… satu semester berarti tiga bulan dalam perhitungan kegiatan belajar mengajar sebuah lembaga Al-Qur’an yang saya ikuti. Semester sebelum ini masih bisa “diatasi”, tapi kali ini…. Andai bisa saya benamkan kepala pada lantai ruang tahsin itu, niscaya saya akan menggali sadalam mungkin guna mengubur malu yang tak tertahan. “Sudah satu semester lho Mbak Judith…” tegur pembimbingku, “kok muroja’ahnya masih yang ini juga???”. Masya Allah, di hadapan manusia saja sudah begini malunya, bagaimana jika yang bertanya adalah malaikat hisab? Hiks… hiks… hiks… Kepala saya padahal masih merekam jelas percakapan ringan tapi begitu membekas pada suatu sore di ruang keluargaku. Saat itu, saya sedang menggumamkan hafalanku dengan mushaf pada genggaman. Ibu duduk dengan santainya di sisi kiriku seraya bertanya, “Kok kamu ngapalin juz yang itu, Dith?”. Saya tersipu malu. “Hehehe… sedang mengulang, Bu…”, kilahku. “Hmmm… giliran hapalan hilang, diem-diem. Tapi, kalo uang yang hilang, ributnya bukan main. Pake bikin pengumuman segala lagi. Kalau seseorang menganggap hafalan Qur’annya itu penting, maka dia akan bersegera mencarinya kembali jika hafalannya itu sempat terlepas darinya…. ” Satu semester! Satu semester! Astaghfirullahal’azhim… Mungkin ini akhirnya menjadi salah satu faktor yang memudahkan saya dimabuk kata pada tiga bulan terakhir ini. Jika hati ini tidak diisi ayat-ayatNya, maka ia akan diisi dengan ayat-ayat dari selainNya. Tidak ada dua hati pada satu rongga. Bukankah sebaik-baik kata adalah firmanNya? Bukankah sebaik-baik arahan adalah taujih Robbani? Bukankah sebaik-baik senandung adalah muroja’ah tahfizh? Bukankah indicator kekuatan seorang mukmin berbanding lurus dengan interaksinya dengan Al-Qur’an? Duhai diri, tidakkah teringat salah satu alasan generasi Nabawi menjadi generasi yang unik? Ya, karena mereka meletakkan Al Qur’an tidak hanya pada tangan mereka, melainkan pada hati, lisan, fikiran, dan segala relung kehidupan mereka. Bukan sekadar untuk menenangkan hati, atau pemuas nafsu intelektual, apalagi untuk memenuhi target ibadah yaumiyah. Laa! Lebih dari itu. Padahal Al-Qur’an yang mereka pegang saat itu adalah Al-Qur’an yang sama dengan yang kita miliki hari ini. Al-Qur’an yang mereka baca adalah Al-Qur’an yang sama dengan yang kita miliki hari ini. Tidak ada yang berubah dan tidak ada keraguan di dalamnya. Satu semester! Satu semester! Semoga ini bisa jadi pembelajaran buat para pembelajar. Diperlukan hentakan iman dalam perjalanan menuju peradaban yang lebih baik. Diperlukan akselerasi perbaikan guna membentuk generasi Qur’ani. Tidaklah hafalan Al-Qur’an itu hilang dari diri seorang muslim melainkan karena maksiat. Tidak pula hafalan itu mudah memasuki hati yang kusam. Jika ia tidak menghuni hati seorang muslim, maka atas dasar apa dia menyenandungkan “Al-Qur’an dusturuna”? (24 February 2008)

Sabtu, 16 Februari 2008

WANITA OH WANITA

Wanita Makkah itu menolak lamarannya. Lemas. Duka. Kecewa. Namun, hal itu tidak serta merta mematahkan semangat Sang Pejuang Cinta. Selama waktu masih bergulir, berarti masih selalu ada kesempatan melesatkan mata panah cinta tepat di hatinya. Saat itu, goncangan dakwah di Makkah kian menghebat. Sebuah pergerakan besar perlu digelar guna menyelamatkan keimanan kaum muslimin Makkah. Ternyata titah Rabb-nya adalah pilihan cinta Ummul Qo’is, wanita muslimah Mekkah itu. Harta, saudara, tanah kelahiran, dan segala pernik dunia di Makkah biarlah menjadi kenangan. Bersama kaum muslimin Makkah lainnya, sebuah momentum sejarah peradaban Madani pun dimulai. Berbekal aqidah yang telah bersemai indah dalam hatinya, berhijrah menuju sebuah kota harapan dakwah: Madinah. Mencintai yang dicinta berarti mencintai apa yang dicinta oleh yang dicinta. Maka, pilihan cinta Ummul Qo’is adalah kecenderungan yang sama bagi Sang Pejuang Cinta. Karena cinta telah menjadi energi perjuangannya, maka hijrah adalah langkah perjuangan yang juga harus ditempuh Sang Pejuang Cinta. Harta, saudara, tanah kelahiran, dan segala pernik dunia di Makkah biarlah menjadi kenangan. “Aku tak akan jauh darimu, duhai Cinta…” desahnya. Tibalah Sang Pejuang Cinta di kota yang sama dengan Ummul Qo’is, Madinah Al Munawarah. Di kota ini, bunga-bunga dakwah bermekaran indah. Di kota ini pula, bunga cintanya harus mekar sebagaimana target eksistensinya . Sang Pejuang Cinta pun kembali melayangkan pinangannya pada wanita Makkah itu. Dan akhirnya, tercapailah cita dan cinta yang selama ini dia tuju. Muhajir Ummul Qo’is mendapatkan Ummul Qo’is dari perjuangan hijrahnya. Tidak kurang dan tidak lebih. Sedangkan, muhajirin karena Allah dan Rasulnya mendapatkan ridho Allah dan rasulNya di dunia dan di akhirat. Tidak kurang dan pasti berlebih. Disadur dari latar belakang hadits Arba’in #1, Imam An Nawawi. Sahabat, Munculnya fitnah adalah sunnatullah yang menjadi salah satu karakter jalan perjuangan. Ketika hubungan kita dengan Allah begitu dekat, maka sekokoh itulah pijakan kita untuk tetap berada di jalan ini. Namun, jika hubungan kita dengan Allah hanya sekadar formalitas yang hambar, maka selemah itulah ketahanan yang kita miliki terhadap dera ujian. Sahabat, Allah telah menghiasi manusia dengan cinta syahwat kepada wanita (QS.3:14). Ingatkah pesan Rasul kita kala beliau berkata, “Tidaklah aku meninggalkan fitnah yang lebih besar kepada laki-laki melainkan fitnah wanita”? Bagi seorang da’i, betapapun kuat kepribadiannya dan tajam pemikirannya, bukan tidak mungkin terpeleset pada kubangan syahwatun nisa’ ini. Ia bukan hanya dapat memberikan efek lethal bagi produktivitas dakwahnya, melainkan juga melunturkan kebarokahan dakwah yang telah terbangun dengan susah payah. “Tiga hal yang jangan sampai dirimu melakukannya, diantaranya… janganlah kamu mendatangi wanita meskipun engkau beralasan: aku ingin mengajarkannya kitabullah.” Ujar ulama zuhud, Maimun bin Mahran. Sedemikian besar pengaruh seorang wanita. Bukan hanya mampu berdiri memberi sokongan hebat di balik suksesnya laki-laki luar biasa, namun ia juga mampu mengkerutkan laki-laki luar biasa hingga tanpa bentuk. Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa wanita juga begitu mudah terpedaya oleh kata, tahta, harta, dan pernik dunia lainnya. Setidaknya, bukankah Hawa yang lebih dulu termakan tipuan iblis sebelum Adam as hingga akhirnya terlempar ke dunia? Bukankah wanita adalah awal kesesatan bani Israil? Bukankah istri-istri Rasulullah, para wanita-wanita Makkah, juga pernah khilaf meminta “kenaikan jatah dunia” ketika sudah di Madinah? Sahabat, Mohon selalu bimbinganNya untuk tetap teguh agar tak ada satu pun di antara kita yang runtuh. Termasuk saya, kamu, dan saudara-saudara kita yang lain. Sifat keinsanan yang melekat pada diri kita begitu mudah menarik-ulur grafik fluktuasi keimanan. Kita tak tahu benar bagaimana keadaan iman dalam hati kita hari ini dan esok, apalagi untuk memastikan hal yang sama pada hati orang lain. Maka, jangan coba-coba bermain api dalam hal ini. Sebuah kebakaran besar berawal dari percikan api yang kecil. Terlepas dari apapun hajatmu terhadap wanita, tetaplah berjalanlah dalam bingkaiNya. Karena semua yang telah digariskanNya untukmu, tidak akan luput darimu. Sahabat, Kondisi wanita dapat menggambarkan baik buruknya suatu kaum. Wanita mampu menjadi tiang suatu Negara. Wanita adalah bunda sebuah peradaban. Wanita adalah ibu yang di telapak kakinya terdapat syurga. Bahkan, rasulullah pun menyatakan bahwa sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholihat. Namun, mendidik wanita menjadi sholihat adalah sesulit menjauhi fitnah mereka. Wallohu’alam bishowab. Ba’da perjalanan malam Bandung-Jakarta, 16 February 2008

DIMABUK KATA

Kata adalah sepotong hati; suatu rongga yang menyimpan dua hal berharga dalam hidup ini; iman dan cinta. Semburat bashirah yang dititipkanNya di atas kasih sayang yang agung pada jiwa setiap manusia. Sesosok nurani bersuara emas yang mampu memberi nasihat terjujur bagi yang menjaga permata keimanan dan cinta di dalamnya. Sebentuk gelora yang menggerakkan raga berlari menujuNya. Maka, siapkan hati menerima kata… “Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu…” (QS.73:5) Kata adalah sepotong hati. Sebuah matriks kekuatan muatan pemikiran dan emosi dari yang berkata. Ia adalah cerminan integritas diri dari yang berkata. Ia begitu menghujam pada hati lain dengan simpanan yang serupa. Segala yang disampaikan oleh hati, maka akan diterima oleh hati. Ia bisa menjadi layaknya sesejuk embun pagi dan secerah mentari. Namun, ia juga bisa segersang padang pasir dan seburam temaram. Bahkan bukan tak mungkin berubah menjadi monster menakutkan dan pedang yang tajam. Saya dan potongan-potongan hati orang lain. Saya dan misteri kata-kata analogi. Saya dan segala terka yang akhirnya hanya mampu saya artikan sendiri. Saya dan beragam kata tanya yang tak (kunjung) terjawab. Saya dan segala keterbatasan saya dalam timbunan semua kata. Berusaha sekokoh mungkin berpijak di jalan yang bijak tanpa harus ada yang terinjak. Mencerna semua rangkaian kata “perjalanan penulisan”, menghitung saldo kata pada “tabungan jiwa”. Atas semua kata yang akhirnya mengisahkan tarbiyah ilahiyah pada episode hidup kali ini, cukuplah menjadi recik berharga dalam meneruskan perjalanan cita. (14Feb08)

Senin, 11 Februari 2008

KEPITING REBUS SAUS TOMAT GORENG MENTEGA BUMBU BBQ

Inilah menu special terintegrasi hari ini......... Semburat terka menjadi cita rasa tersendiri.......... Sebuah matriks perasaan dan pemikiran yang kompleks......... Ditaburi kejutan garing di setiap potong harapan........ Tak perlu ada yang dipusingkan............ Cukup ambil yang dianggarkan dimensi peradabanmu............ Karena jika kau tidak disibukkan dengan hal-hal besar,............ Maka kau akan disibukkan dengan hal-hal kecil............ (11 feb 2008)

KOPI MALAM INI

(iwishiwillneverdrinkcoffeagain,3 feb 2008)

Harga Sebuah Matahari

“Kak, temanku ingin bergabung bersamaku di sini. Berapa harga menjadi sebuah matahari kecil di taman ini?” tanya seorang matahari kecilku. Sejenak aku terdiam. Bagaimana menghargakan sebuah matahari? Bukankah harusnya aku yang membayar kesedian mereka menyinari kebunku, memantulkan warna-warni hari-hariku, menyejukkan taman hatiku? Sedang, aku… siapa aku? Bukankah tak satupun dari para utusanNya meminta bayaran atas seruan yang mereka bawa? “Pernahkah selama ini kakak memintanya?” aku balik bertanya. “Tidak”, jawab sahabat kecilku itu. Kami pun mengakhiri pembicaran ini dengan senyuman. Berapa harga pengorbanan matahari kecilku, Aditya Dwiputra? Perjalanan malam dari kampung sebelah dan sebaliknya dengan sepeda adalah rutinitas yang perlu dia bayar untuk menjadi matahari kecil di taman ini. Seorang bocah berusia 10 tahun yang pernah kudapati sedang meringkuk dan meringis di pojok ruangan. Badannya yang memang lemah sejak kecil, ditambah hepatitis yang belum lama dia cicipi bukanlah penghalang baginya untuk datang. “Aku ga apa-apa. Cuma kedinginan saja. Aku masih bisa ngaji, kok…” jawabnya dengan wajah yang pucat. Berapa harga semangat sepasang matahari kecil, Budi dan Ihsan? Dua kakak beradik ini selalu bersemangat hingga tahun ke3 kebersamaannya di taman ini. Di seperempat awal malam di sini berarti mengurangi jatah bercengkrama mereka dengan ayah dan ibu mereka pada jam makan malam. Bukan apa-apa, jam kerja berjualan di pasar induk pada malam hari bagai lonceng yang memanggil kedua orang tua mereka sampai subuh. Tapi, itu tak mengapa. Bahkan, hujan lebat dan petir yang menggelegar tak merintangi kedua jagoan ini untuk tetap hadir pada suatu malam. Kedua matahari kecil itu duduk berhimpitan di sisi dinding, sambil bergetar dan berkata… “Hujannya besar. Kami takut. Tapi, kita tetap ngaji kan, kak?” Berapa harga kerinduan bocah 5 tahun asal Ambon, Adit gendut? Beberapa kali anak ini tidak hadir karena menemui orang tuanya yang tinggal di kampung halamannya, Ambon. “Kak Yudith ikut saja ke Ambon…” kata matahari kecil itu suatu ketika. Sekalinya dia berkesempatan hadir, wajahnya begitu ceria. Hingga suatu saat, ia dan kelurganya memutuskan untuk tinggal di bilangan Depok. Berbulan-bulan matahari kecil ini tak kunjung terbit. Tiba-tiba pada suatu malam, Adit dan pengasuhnya datang. “Di sana Adit nangis minta mau ke sini mulu. Mau ngaji katanya…” jelas pengasuhnya. Berapa harga sebuah perhatian yang manis, keikhlasan yang tulus, dan kejujuran yang polos? Matahari-matahari kecil yang selalu hadir menghantarkan semangat dari mata yang bening. Matahari-matahari yang menagih seruan kebaikan itu guna “membentuk” mereka. Mereka yang mampu menyeka air mataku pada suatu ketika dimana aku begitu lelah dan tidak berbentuk. “Kak Yudith, jangan menangis…” Masih ingat istilah objek dakwah yang menerima seruan Rasulullah saw? Junior? Nup! … Simpatisan? Nup! … Klien? Nup! ... Mad’u? Nup! ... Mentee? Nup! … Lebih dari itu… Yap, istilah yang begitu indah, prestise dan akrab: Sahabat. Sahabat-sahabat kecilku adalah matahari-matahariku. Menyinari dengan hangat taman belajar Alhuda kami. Ya, nama yang sengaja kubuat mirip dengan masjid di 14 dulu. Alhuda yang semoga menjadi perantara huda-Nya yang benderang menyinari kami dan lingkungan kami. Alhuda kami mungkin hanya sebentuk titik yang teramat kecil, sekecil titik dalam size terkecil dari font terecil yang bisa dituliskan sejarah kejayaan Islam. Namun, kisah kejayaan itu adalah untaian kata yang tersusun atas titik-titik kecil yang bersambungan dalam garis-garis huruf. Berapa harga sebuah matahari? Tak ternilai. Tapi, aku dan juga kamu yang harus menebusnya. Dengan apa? Harta dan jiwa. Maka, Allah yang akan membayarmu dengan syurga. Selalukah Matahari itu indah? Tidak juga. Mungkin akan ada senyum, tangis, suka, duka, luka, peluh, bahagia, dan kecewa yang mengiringi. Aku dan matahari-matahariku. Kamu dan matahari-mataharimu. Aku, kamu, dan kita semua yang berjalan beriringan di atas jenak-jenak peradaban ini. Semoga titik-titik kita bersambungan dalam cerita yang indah, yang dapat kita kenang bersama di jannahNya kelak. 05022008

Kamis, 31 Januari 2008

SEKALI-KALI, BERMAINLAH DENGAN ANAK-ANAK

Senja itu Ihsanudin (5 tahun) datang telat ke TPA Al Huda, sebuah pondok sederhana seperti saung tempat anak-anak di sekitar rumahku mengaji, bermain, belajar, bernyanyi, bercerita, berbagi, dsb. Bocah kecil itu tiba dengan wajah cerianya yang khas. Baju koko kuning, peci mungil, dan kain selendang kecil seperti sorban yang menjulur dari kedua bahunya. Ehmm.. baju baru nih… “Assalamu’alaikum!” teriaknya. Kontan semua mata tertuju padanya. “Kak Yudith, sekarang aku maunya dipanggil ustadz Ihsan”, ujarnya diiringi senyum yang lepas. “Oke”, jawabku sekenanya. Jadilah sentero civitas academica Al Huda memanggilnya Ustadz Ihsan pada pertemuan kali itu. Hingga di tengah sessi acara utama.. “Hhhuuuuuaaaaahhhhh……..!!!!!!” menangislah Ihsankamil (3 tahun) yang biasanya datag pada pertemuan kami untuk memeriahkan suasana. Well, tangisan adalah hal yang lumrah terjadi. Tapi kalau sampai terlalu kencang dan lama, saya harus turun tangan. “Tenang, kak Yudith ustadz Ihsan datang!” Ihsanudin melangkah mendahului menghampiri bocah yang menangis. “Tenang, tenang. Aku berubah dulu menjadi POWER RANGER! Chiaaaaat!” teriak Ihsan sambil melakukan gerakan aneh lalu kemudian dia berusaha menenangkan temannya yang menangis. Ihsankamil terhenti tangisnya. Saya pikir sih bukan karena usaha si Power Ranger menenangkan, melainkan keanehan ulahnya Ihsan. Pada pertemuan lainnya, Ihsanudin juga pernah menawariku bergabung bersamanya menjadi Ranger Pink. “Ihsan, kamu hanya perlu menjadi Ihsan yang soleh,” ujarku suatu ketika. “Ayahku sudah doain aku jadi anak sholih kok…” tukas Ihsan. “Kamu juga harus berdoa yang sama,” timpaku, “jadi anak sholih ya…”. Ihsan tersenyum lebar, mempertujukan gigi-gigi kecilnya yang berkarang, “hehehe.. iya, kak Yudith.” *** Entah saya yang yang mengalami ketuaan dini (sebagian teman mendiagnosa demikian. Sebagian menyebutnya juga dengan istilah: dewasa. Sebagian lagi dengan tega bilang: sok tua), saya menikmati betul rutinitas berinteraksi dengan anak-anak itu. Belajar, bermain, mengaji, menyanyi. Merasa jauh lebih muda. Memang tidak melulu diisi tawa. Tak jarang teriakan mutung dan raungan tangis anak-anak itu memekakkan telinga. Teman, sekali-kali bermainlah dengan anak-anak. Betapa Antum dapat belajar tentang kejujuran dan kepolosan dari binar mata, senyum, tawa, hingga tangis mereka. Jujur atas apa yang mereka rasakan. Jujur atas apa yang ingin mereka lakukan. Jika mereka merasa senang dengan sesuatu, atau jika mereka sudah mulai memahami bahwa sesuatu itu baik, maka sesuatu itulah yang mereka lakukan. Mungkin hal inilah yang akhirnya membuat mereka berkembang dengan cepat. Kejujuran inilah yang akhirnya mendorong percepatan pembelajaran mereka. Teman, cobalah sekali-kali bermainlah dengan anak-anak. Setidaknya orang dewasa dapat “meminjam cermin” dari kejujuran anak-anak itu. Melakukan apa yang telah didapatkan. Jujur untuk melakukan sesuatu untuk Allah seperti konsep yang telah kita dapatkan. Bukan untuk menjaga karisma sebagai boss atau orang penting lainnya. Bukan untuk memelihara popularitas sebagai orang keren di mata publik. Bukan untuk dibilang exist, apalagi cari-cari alasan untuk menjalin hubungan atau caper sama calon ist**/sua**/mert**. Jujur dengan pengabdian kita kepadaNya. Jujur dengan ukhuwah kita selama ini. Jujur dengan muamalah kita. Jujurlah, yang kita lakukan adalah hal baik yang telah kita pahami. Teman, sekali-kali bermainlah dan belajar dari anak-anak. Antum akan belajar menjadi lebih dewasa dan meninggalkan sikap kekanak-kanakan yang usang di usia setua ini. Tahukah Antum, menghadapi anak-anak yang sedang ”keluar bandelnya” tak jauh berbeda menghadapi orang-orang dewasa yang kekanak-kanakan. Senior kerdil (baca: orang dewasa yang kekanak-kanakan) yang gegabah mengambil sikap, emosional memilih kata, mudah menyalahkan, melekatkan cap tidak mengenakan untuk saudaranya sendiri, manja, dan kurang bijak memutuskan perkara, adalah harus sama-sama disikapi dengan kesabaran. Bahayanya, kelakuan kekanak-kanakan orang dewasa cukup merugikan dirinya sendiri, orang lain, maupun produktivitas jamaah. Mulai dari yang rekan kerja yang ambekan, gemar menyibak kesalahan dan mempersalahkan orang lain, iseng-iseng mudharat, dsb. Orang-orang seperti ini tidak sulit ditemui tapi tidak mudah dihadapi. Entah motivasinya apa. Hanya orang ybs yang mampu jujur atas tindakannya. Yang jelas, ketidakdewasaan ini tidak bisa dihadapi dengan sikap kekanak-kanakan juga. Perlu bimbingan Yang Maha Bijaksana guna mampu menyikapinya dengan bijak. Yang mampu mendekat denganNya, insya Allah terjauh dari nafsunya. Teman, tak perlu terlalu sering bermain-main seperti anak-anak. Antum bukan anak-anak lagi. Maka, dewasalah... PS: buat "spiderman" yg berhasil ngerjain saya, terlepas dari ini hanya sebuah kekhilafan, kekecewaan ini bukan karena saya serasa ikut reality show "jahil", melainkan kekanak-kanakannya seorang superhero. Bukankah aib bg seorang pahlawan utk melakukan hal yg biasa saja sedang ia mampu melakukan hal yg luar biasa? Lantas, apa namanya jika sang pahlwan itu bersikap konyol? Dimana "Mencari Pahlwan Indonesia"?

Jumat, 25 Januari 2008

Ghaza Tetap Bertahan di Atas Doa dan Harapan

Eramuslim.com Selasa, 22 Jan 08 10:12 WIB
Lebih dari satu setengah juta warga Ghaza mencoba bertahan dan menyesuaikan diri hidup tanpa listrik dan makin menipisnya kebutuhan sehari-hari seperti air bersih dan makanan. Banyak di antara warga Ghaza hari Senin kemarin berpuasa. Namun himpitan dan penderitaan yang mereka alami, tidak menggoyahkan keimanan dan keyakinan mereka bahwa Allah swt akan selalu melindungi dan mengulurkan tanganNya.
Tak ada lagi yang bisa dilakukan warga Ghaza menghadapi kekejaman dan blokade ekonomi tanpa ampun yang dilakukan rejim Zionis Israel yang sudah berlangsung selama empat hari ini. Hanya harapan yang kini tersisa di hati mereka dan doa yang senantiasa dipanjatkan. "Ya, Allah yang Maha Besar, kami sudah tidak mampu lagi berkata-kata dan nafas kami terasa sesak untuk mengungkapkan semua kepedihan ini. Namun Engkau yang Maha Tahu penderitaan kami ini, " doa Umi Muhammad sambil meneteskan air mata.
Dengan lilin di tangan kanan dan tangan kiri memegang spanduk, Abu Ahmad, 65, menggumamkan harapannya, "Allah-lah penolong kami. Saya yakin Allah tidak akan membiarkan kami bersedih menghadapi situasi yang berat ini."
Spanduk bertuliskan "Cabut blokade pembunuh ini" yang dipegang Abu Ahmad seolah cuma tulisan tanpa arti, padahal itulah jeritan hati warga Ghaza. Antrian di toko-toko roti terlihat selama tiga hari ini di Ghaza. Pabrik-pabrik dan tempat pengisian bahan bakar sudah tidak beroperasi lagi, sejak rejim Zionis memperketat blokade jumat pekan kemarin, dengan menutup semua perbatasan di Ghaza, sehingga pasokan bahan bakar, makanan bahkan bantuan kemanusiaan tidak bisa mengalir ke Ghaza.
Yang memprihatinkan, dunia internasional, utamanya negara-negara Barat yang selama ini sibuk mendamaikan Israel-Palestina diam melihat kekejaman rejim Zionis Israel yang bukan hanya membuat warga Ghaza kelaparan, kegelapan, kekurangan obat-obatan, bahkan membantai warga Ghaza yang sudah tak berdaya.
"Tak ada seorang pun yang mengulurkan bantuan, air mata dan tangisan kami tak membuat hari mereka tergerak, " ujar Abu Ahmad prihatin.
Sejak Senin kemarin, banyak warga Ghaza yang memilih berpuasa menghadapi kesulitan mereka. Begitupula para tahanan warga Palestina di penjara-penjara Israel, sebagai bentuk solidaritas mereka pada warga Ghaza. Dalam pernyataan bersama mereka mengatakan, "Hati kami hancur, kami tak berdaya untuk membantu mereka."
Untuk tetap membangkitkan semangat dan menguatkan hati warga Ghaza, seruan agar warga Ghaza tetap tabah disiarkan lewat radio-radio dan mikrofon. Di malam hari, warga Ghaza yang menghabiskan malamnya di masjid-masjid, berdoa agar Allah swt segera mengakhiri penderitaan mereka, melindungi para janda-janda tua, anak-anak dan para pasien yang kini dalam kondisi sekarat akibat blokade rejim Zionis.
Seorang imam masjid di Ghaza tidak bisa menahan emosinya dan melontarkan kemarahannya pada dunia. "Apakah Anda tuli? Tidakkah kalian mendengar suara tangis para ibu dan anak-anak? Tidakkah mereka mendengar tangisan para tahanan dan mereka yang tertindas?" tandas Syaikh Waed al-Zordi, imam masjid Al-Omari di Ghaza.
Semoga Allah swt senantiasa memberikan kekuatan dan melimpahkan kasih sayangNya pada saudara-saudara kita di Ghaza, serta membalas semua kesabaran mereka...Allah Akbar,,Allah Akbar,,,Allah Akbar,,!

Suratku Untuk Perempuan-perempuan Hebbuat

Bunda Khadijah binti Khuwailid dalam ridha dan maghfirahNya, Tolong nasehati aku bagaimana menjadi sedemikian teguh di jalan ini? Mungkin zaman hanya mampu sekali melahirkan perempuan semulia engkau sepanjang usia dunia. Hingga Rasulku berkata, “Tidak. Demi Allah, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia beriman kepadaku saat yang lain ingkar. Ia mempecayaiku kala yang lain mendustakanku. Ia yang memberiku harta kala yang lain enggan memberi. Ia memberiku keturunan, sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh istri-istriku yang lain.” Izinkan aku meminjam cermin keutuhan pribadi dan kesucian yang terjaga yang kau miliki, Bunda. Agar kumampu memperbaiki rupa suluk-ku, menjaga ‘izzah-ku. Betapa sekelumit ujian begitu mudah melemahkan anandamu, muslimah di hari ini. Timbunan kesah, dumalan, dan prasangka yang diringi serapah panjang telah menjadi warna keseharian. Belum lagi keterpedayaan yang begitu mudah menjerat. Padahal, atas segala peluh, lelah, cemas, luka, dan air mata kala ujian dakwah sedemikian hebat, tak sedikitpun keluh keluar dari lisan agungmu. Tutur katamu yang meneguhkan semangat juang sang Rasul mulia. Senyum yang menghapus segala gulana. Dalam usiamu yang tak lagi muda, segala telah kaucurahkan dalam menyusun batu bata bangunan dakwah sejak awal kereta perjuangan ini melaju. Harta dan jiwa. Hidup dan cinta. Tak ada lagi yang tersisa, kecuali jawaban dari Allah yang dipesankan melalui rasulNya, “Aku diperintahkan untuk memberi kabar gembira kepada Khadijah bahwa akan dibangun untuknya di surga sebuah rumah dari permata, tidak ada hiruk pikuk dan lelah di sana.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad). Bunda Asma binti Abu Bakar dalam maghfirahNya, Ajari aku menjadi sekokoh karang yang dihempas gelombang, tidak menimbun diri dalam sejuta alasan yang menghalangi amanah perjuangan ini. Bebatuan tajam goa Tsur telah menjadi menyaksikan. Hamparan padang pasir yang panas telah melihat. Dua ikat pinggangmu adalah bukti. Betapa luka pada telapak kakimu adalah mutiara. Kala usia kandunganmu yang tua, bagimu, bukan alasan yang memberatkanmu merentas misi dakwah yang berbahaya kala booming peristiwa hijrah ke Madinah di kalagan kaummu. Rasul harus selamat. Maka, apapun rela engkau pertaruhkan. Ya, apapun dan bagaimanapun. Bahkan saat usiamu senja, matamu tak lagi mampu melihat dengan jelas. Namun, ruh jihad yang tetap bergelora menjadikan usia 93 tak sedikitpun meredupkan bashiroh-mu. Seperti katamu saat itu, “Bersabar dan bertawaklallah… jika karena mengharapkan dunia dan seisinya, maka kamu adalah seburuk-buruknya makhluk.” Wahai Al Khansa bunda para syuhada yang mulia, Ajari kami menjadi Al Khansa di abad ini. Tahukah, Bunda? Hari ini, betapa banyak orang yang ingin dipanggil dengan awalan kata “bunda” pada namanya. Bunda Neno, Bunda Titik Puspa, hingga bunda Dorce! Atau gelar “mama” seperti mama Justine, mamamia, sampai mama Laurent ahli nujum. Kata “Bunda” adalah prestise kemuliaan bagi seorang perempuan. Ummul madrasah atau bunda peradaban. Sebuah gelaran atas nilai perjuangan yang sempurna, nilai sentuhan kelembutan yang istimewa, serta nilai tarbiyah yang cume laude atas jundi-jundi Allah yang terlahir dari rahimnya. Cukuplah gelaran itu menggambarkan sosokmu, Bunda Al Khansa. Matahari yang melahirkan matahari. Syuhada yang melahirkan para syuhada. Syuhada dari suami yang syuhada. Hingga hanya rombongan malaikat yang mulia yang layak menjemput ruh-mu yang agung menemui Robb Yang Maha Agung. Maka, mungkinkah rahim seorang pemalas dengan segala ekspresi kelemahannya melahirkan ksatria Allah yang tangguh? Bukankah khalifah kedua Umar bin Khatab ra keturunannya bersambungan dengan Khalifah “kelima” Umar bin Abdul ‘Aziz pada seorang muslimah pemerah susu sapi yang jujur itu? Wahai ummul mukminin yang Allah muliakan serta bunda para mujahidin… Terima kasih atas untaian ibrah pada kisahmu…