Kamis, 31 Januari 2008

SEKALI-KALI, BERMAINLAH DENGAN ANAK-ANAK

Senja itu Ihsanudin (5 tahun) datang telat ke TPA Al Huda, sebuah pondok sederhana seperti saung tempat anak-anak di sekitar rumahku mengaji, bermain, belajar, bernyanyi, bercerita, berbagi, dsb. Bocah kecil itu tiba dengan wajah cerianya yang khas. Baju koko kuning, peci mungil, dan kain selendang kecil seperti sorban yang menjulur dari kedua bahunya. Ehmm.. baju baru nih… “Assalamu’alaikum!” teriaknya. Kontan semua mata tertuju padanya. “Kak Yudith, sekarang aku maunya dipanggil ustadz Ihsan”, ujarnya diiringi senyum yang lepas. “Oke”, jawabku sekenanya. Jadilah sentero civitas academica Al Huda memanggilnya Ustadz Ihsan pada pertemuan kali itu. Hingga di tengah sessi acara utama.. “Hhhuuuuuaaaaahhhhh……..!!!!!!” menangislah Ihsankamil (3 tahun) yang biasanya datag pada pertemuan kami untuk memeriahkan suasana. Well, tangisan adalah hal yang lumrah terjadi. Tapi kalau sampai terlalu kencang dan lama, saya harus turun tangan. “Tenang, kak Yudith ustadz Ihsan datang!” Ihsanudin melangkah mendahului menghampiri bocah yang menangis. “Tenang, tenang. Aku berubah dulu menjadi POWER RANGER! Chiaaaaat!” teriak Ihsan sambil melakukan gerakan aneh lalu kemudian dia berusaha menenangkan temannya yang menangis. Ihsankamil terhenti tangisnya. Saya pikir sih bukan karena usaha si Power Ranger menenangkan, melainkan keanehan ulahnya Ihsan. Pada pertemuan lainnya, Ihsanudin juga pernah menawariku bergabung bersamanya menjadi Ranger Pink. “Ihsan, kamu hanya perlu menjadi Ihsan yang soleh,” ujarku suatu ketika. “Ayahku sudah doain aku jadi anak sholih kok…” tukas Ihsan. “Kamu juga harus berdoa yang sama,” timpaku, “jadi anak sholih ya…”. Ihsan tersenyum lebar, mempertujukan gigi-gigi kecilnya yang berkarang, “hehehe.. iya, kak Yudith.” *** Entah saya yang yang mengalami ketuaan dini (sebagian teman mendiagnosa demikian. Sebagian menyebutnya juga dengan istilah: dewasa. Sebagian lagi dengan tega bilang: sok tua), saya menikmati betul rutinitas berinteraksi dengan anak-anak itu. Belajar, bermain, mengaji, menyanyi. Merasa jauh lebih muda. Memang tidak melulu diisi tawa. Tak jarang teriakan mutung dan raungan tangis anak-anak itu memekakkan telinga. Teman, sekali-kali bermainlah dengan anak-anak. Betapa Antum dapat belajar tentang kejujuran dan kepolosan dari binar mata, senyum, tawa, hingga tangis mereka. Jujur atas apa yang mereka rasakan. Jujur atas apa yang ingin mereka lakukan. Jika mereka merasa senang dengan sesuatu, atau jika mereka sudah mulai memahami bahwa sesuatu itu baik, maka sesuatu itulah yang mereka lakukan. Mungkin hal inilah yang akhirnya membuat mereka berkembang dengan cepat. Kejujuran inilah yang akhirnya mendorong percepatan pembelajaran mereka. Teman, cobalah sekali-kali bermainlah dengan anak-anak. Setidaknya orang dewasa dapat “meminjam cermin” dari kejujuran anak-anak itu. Melakukan apa yang telah didapatkan. Jujur untuk melakukan sesuatu untuk Allah seperti konsep yang telah kita dapatkan. Bukan untuk menjaga karisma sebagai boss atau orang penting lainnya. Bukan untuk memelihara popularitas sebagai orang keren di mata publik. Bukan untuk dibilang exist, apalagi cari-cari alasan untuk menjalin hubungan atau caper sama calon ist**/sua**/mert**. Jujur dengan pengabdian kita kepadaNya. Jujur dengan ukhuwah kita selama ini. Jujur dengan muamalah kita. Jujurlah, yang kita lakukan adalah hal baik yang telah kita pahami. Teman, sekali-kali bermainlah dan belajar dari anak-anak. Antum akan belajar menjadi lebih dewasa dan meninggalkan sikap kekanak-kanakan yang usang di usia setua ini. Tahukah Antum, menghadapi anak-anak yang sedang ”keluar bandelnya” tak jauh berbeda menghadapi orang-orang dewasa yang kekanak-kanakan. Senior kerdil (baca: orang dewasa yang kekanak-kanakan) yang gegabah mengambil sikap, emosional memilih kata, mudah menyalahkan, melekatkan cap tidak mengenakan untuk saudaranya sendiri, manja, dan kurang bijak memutuskan perkara, adalah harus sama-sama disikapi dengan kesabaran. Bahayanya, kelakuan kekanak-kanakan orang dewasa cukup merugikan dirinya sendiri, orang lain, maupun produktivitas jamaah. Mulai dari yang rekan kerja yang ambekan, gemar menyibak kesalahan dan mempersalahkan orang lain, iseng-iseng mudharat, dsb. Orang-orang seperti ini tidak sulit ditemui tapi tidak mudah dihadapi. Entah motivasinya apa. Hanya orang ybs yang mampu jujur atas tindakannya. Yang jelas, ketidakdewasaan ini tidak bisa dihadapi dengan sikap kekanak-kanakan juga. Perlu bimbingan Yang Maha Bijaksana guna mampu menyikapinya dengan bijak. Yang mampu mendekat denganNya, insya Allah terjauh dari nafsunya. Teman, tak perlu terlalu sering bermain-main seperti anak-anak. Antum bukan anak-anak lagi. Maka, dewasalah... PS: buat "spiderman" yg berhasil ngerjain saya, terlepas dari ini hanya sebuah kekhilafan, kekecewaan ini bukan karena saya serasa ikut reality show "jahil", melainkan kekanak-kanakannya seorang superhero. Bukankah aib bg seorang pahlawan utk melakukan hal yg biasa saja sedang ia mampu melakukan hal yg luar biasa? Lantas, apa namanya jika sang pahlwan itu bersikap konyol? Dimana "Mencari Pahlwan Indonesia"?

Tidak ada komentar: