Rabu, 27 Februari 2008

Tahfizh Qur'an

Satu semester! Satu semester! Astaghfirullahal’azhim… kata-kata itu begitu terngiang. Boro-boro 2 juz dalam satu semester kali ini, 1 juz saja ngos-ngosan bari jeung teu nyesa keneh… satu semester berarti tiga bulan dalam perhitungan kegiatan belajar mengajar sebuah lembaga Al-Qur’an yang saya ikuti. Semester sebelum ini masih bisa “diatasi”, tapi kali ini…. Andai bisa saya benamkan kepala pada lantai ruang tahsin itu, niscaya saya akan menggali sadalam mungkin guna mengubur malu yang tak tertahan. “Sudah satu semester lho Mbak Judith…” tegur pembimbingku, “kok muroja’ahnya masih yang ini juga???”. Masya Allah, di hadapan manusia saja sudah begini malunya, bagaimana jika yang bertanya adalah malaikat hisab? Hiks… hiks… hiks… Kepala saya padahal masih merekam jelas percakapan ringan tapi begitu membekas pada suatu sore di ruang keluargaku. Saat itu, saya sedang menggumamkan hafalanku dengan mushaf pada genggaman. Ibu duduk dengan santainya di sisi kiriku seraya bertanya, “Kok kamu ngapalin juz yang itu, Dith?”. Saya tersipu malu. “Hehehe… sedang mengulang, Bu…”, kilahku. “Hmmm… giliran hapalan hilang, diem-diem. Tapi, kalo uang yang hilang, ributnya bukan main. Pake bikin pengumuman segala lagi. Kalau seseorang menganggap hafalan Qur’annya itu penting, maka dia akan bersegera mencarinya kembali jika hafalannya itu sempat terlepas darinya…. ” Satu semester! Satu semester! Astaghfirullahal’azhim… Mungkin ini akhirnya menjadi salah satu faktor yang memudahkan saya dimabuk kata pada tiga bulan terakhir ini. Jika hati ini tidak diisi ayat-ayatNya, maka ia akan diisi dengan ayat-ayat dari selainNya. Tidak ada dua hati pada satu rongga. Bukankah sebaik-baik kata adalah firmanNya? Bukankah sebaik-baik arahan adalah taujih Robbani? Bukankah sebaik-baik senandung adalah muroja’ah tahfizh? Bukankah indicator kekuatan seorang mukmin berbanding lurus dengan interaksinya dengan Al-Qur’an? Duhai diri, tidakkah teringat salah satu alasan generasi Nabawi menjadi generasi yang unik? Ya, karena mereka meletakkan Al Qur’an tidak hanya pada tangan mereka, melainkan pada hati, lisan, fikiran, dan segala relung kehidupan mereka. Bukan sekadar untuk menenangkan hati, atau pemuas nafsu intelektual, apalagi untuk memenuhi target ibadah yaumiyah. Laa! Lebih dari itu. Padahal Al-Qur’an yang mereka pegang saat itu adalah Al-Qur’an yang sama dengan yang kita miliki hari ini. Al-Qur’an yang mereka baca adalah Al-Qur’an yang sama dengan yang kita miliki hari ini. Tidak ada yang berubah dan tidak ada keraguan di dalamnya. Satu semester! Satu semester! Semoga ini bisa jadi pembelajaran buat para pembelajar. Diperlukan hentakan iman dalam perjalanan menuju peradaban yang lebih baik. Diperlukan akselerasi perbaikan guna membentuk generasi Qur’ani. Tidaklah hafalan Al-Qur’an itu hilang dari diri seorang muslim melainkan karena maksiat. Tidak pula hafalan itu mudah memasuki hati yang kusam. Jika ia tidak menghuni hati seorang muslim, maka atas dasar apa dia menyenandungkan “Al-Qur’an dusturuna”? (24 February 2008)

Sabtu, 16 Februari 2008

WANITA OH WANITA

Wanita Makkah itu menolak lamarannya. Lemas. Duka. Kecewa. Namun, hal itu tidak serta merta mematahkan semangat Sang Pejuang Cinta. Selama waktu masih bergulir, berarti masih selalu ada kesempatan melesatkan mata panah cinta tepat di hatinya. Saat itu, goncangan dakwah di Makkah kian menghebat. Sebuah pergerakan besar perlu digelar guna menyelamatkan keimanan kaum muslimin Makkah. Ternyata titah Rabb-nya adalah pilihan cinta Ummul Qo’is, wanita muslimah Mekkah itu. Harta, saudara, tanah kelahiran, dan segala pernik dunia di Makkah biarlah menjadi kenangan. Bersama kaum muslimin Makkah lainnya, sebuah momentum sejarah peradaban Madani pun dimulai. Berbekal aqidah yang telah bersemai indah dalam hatinya, berhijrah menuju sebuah kota harapan dakwah: Madinah. Mencintai yang dicinta berarti mencintai apa yang dicinta oleh yang dicinta. Maka, pilihan cinta Ummul Qo’is adalah kecenderungan yang sama bagi Sang Pejuang Cinta. Karena cinta telah menjadi energi perjuangannya, maka hijrah adalah langkah perjuangan yang juga harus ditempuh Sang Pejuang Cinta. Harta, saudara, tanah kelahiran, dan segala pernik dunia di Makkah biarlah menjadi kenangan. “Aku tak akan jauh darimu, duhai Cinta…” desahnya. Tibalah Sang Pejuang Cinta di kota yang sama dengan Ummul Qo’is, Madinah Al Munawarah. Di kota ini, bunga-bunga dakwah bermekaran indah. Di kota ini pula, bunga cintanya harus mekar sebagaimana target eksistensinya . Sang Pejuang Cinta pun kembali melayangkan pinangannya pada wanita Makkah itu. Dan akhirnya, tercapailah cita dan cinta yang selama ini dia tuju. Muhajir Ummul Qo’is mendapatkan Ummul Qo’is dari perjuangan hijrahnya. Tidak kurang dan tidak lebih. Sedangkan, muhajirin karena Allah dan Rasulnya mendapatkan ridho Allah dan rasulNya di dunia dan di akhirat. Tidak kurang dan pasti berlebih. Disadur dari latar belakang hadits Arba’in #1, Imam An Nawawi. Sahabat, Munculnya fitnah adalah sunnatullah yang menjadi salah satu karakter jalan perjuangan. Ketika hubungan kita dengan Allah begitu dekat, maka sekokoh itulah pijakan kita untuk tetap berada di jalan ini. Namun, jika hubungan kita dengan Allah hanya sekadar formalitas yang hambar, maka selemah itulah ketahanan yang kita miliki terhadap dera ujian. Sahabat, Allah telah menghiasi manusia dengan cinta syahwat kepada wanita (QS.3:14). Ingatkah pesan Rasul kita kala beliau berkata, “Tidaklah aku meninggalkan fitnah yang lebih besar kepada laki-laki melainkan fitnah wanita”? Bagi seorang da’i, betapapun kuat kepribadiannya dan tajam pemikirannya, bukan tidak mungkin terpeleset pada kubangan syahwatun nisa’ ini. Ia bukan hanya dapat memberikan efek lethal bagi produktivitas dakwahnya, melainkan juga melunturkan kebarokahan dakwah yang telah terbangun dengan susah payah. “Tiga hal yang jangan sampai dirimu melakukannya, diantaranya… janganlah kamu mendatangi wanita meskipun engkau beralasan: aku ingin mengajarkannya kitabullah.” Ujar ulama zuhud, Maimun bin Mahran. Sedemikian besar pengaruh seorang wanita. Bukan hanya mampu berdiri memberi sokongan hebat di balik suksesnya laki-laki luar biasa, namun ia juga mampu mengkerutkan laki-laki luar biasa hingga tanpa bentuk. Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa wanita juga begitu mudah terpedaya oleh kata, tahta, harta, dan pernik dunia lainnya. Setidaknya, bukankah Hawa yang lebih dulu termakan tipuan iblis sebelum Adam as hingga akhirnya terlempar ke dunia? Bukankah wanita adalah awal kesesatan bani Israil? Bukankah istri-istri Rasulullah, para wanita-wanita Makkah, juga pernah khilaf meminta “kenaikan jatah dunia” ketika sudah di Madinah? Sahabat, Mohon selalu bimbinganNya untuk tetap teguh agar tak ada satu pun di antara kita yang runtuh. Termasuk saya, kamu, dan saudara-saudara kita yang lain. Sifat keinsanan yang melekat pada diri kita begitu mudah menarik-ulur grafik fluktuasi keimanan. Kita tak tahu benar bagaimana keadaan iman dalam hati kita hari ini dan esok, apalagi untuk memastikan hal yang sama pada hati orang lain. Maka, jangan coba-coba bermain api dalam hal ini. Sebuah kebakaran besar berawal dari percikan api yang kecil. Terlepas dari apapun hajatmu terhadap wanita, tetaplah berjalanlah dalam bingkaiNya. Karena semua yang telah digariskanNya untukmu, tidak akan luput darimu. Sahabat, Kondisi wanita dapat menggambarkan baik buruknya suatu kaum. Wanita mampu menjadi tiang suatu Negara. Wanita adalah bunda sebuah peradaban. Wanita adalah ibu yang di telapak kakinya terdapat syurga. Bahkan, rasulullah pun menyatakan bahwa sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholihat. Namun, mendidik wanita menjadi sholihat adalah sesulit menjauhi fitnah mereka. Wallohu’alam bishowab. Ba’da perjalanan malam Bandung-Jakarta, 16 February 2008

DIMABUK KATA

Kata adalah sepotong hati; suatu rongga yang menyimpan dua hal berharga dalam hidup ini; iman dan cinta. Semburat bashirah yang dititipkanNya di atas kasih sayang yang agung pada jiwa setiap manusia. Sesosok nurani bersuara emas yang mampu memberi nasihat terjujur bagi yang menjaga permata keimanan dan cinta di dalamnya. Sebentuk gelora yang menggerakkan raga berlari menujuNya. Maka, siapkan hati menerima kata… “Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu…” (QS.73:5) Kata adalah sepotong hati. Sebuah matriks kekuatan muatan pemikiran dan emosi dari yang berkata. Ia adalah cerminan integritas diri dari yang berkata. Ia begitu menghujam pada hati lain dengan simpanan yang serupa. Segala yang disampaikan oleh hati, maka akan diterima oleh hati. Ia bisa menjadi layaknya sesejuk embun pagi dan secerah mentari. Namun, ia juga bisa segersang padang pasir dan seburam temaram. Bahkan bukan tak mungkin berubah menjadi monster menakutkan dan pedang yang tajam. Saya dan potongan-potongan hati orang lain. Saya dan misteri kata-kata analogi. Saya dan segala terka yang akhirnya hanya mampu saya artikan sendiri. Saya dan beragam kata tanya yang tak (kunjung) terjawab. Saya dan segala keterbatasan saya dalam timbunan semua kata. Berusaha sekokoh mungkin berpijak di jalan yang bijak tanpa harus ada yang terinjak. Mencerna semua rangkaian kata “perjalanan penulisan”, menghitung saldo kata pada “tabungan jiwa”. Atas semua kata yang akhirnya mengisahkan tarbiyah ilahiyah pada episode hidup kali ini, cukuplah menjadi recik berharga dalam meneruskan perjalanan cita. (14Feb08)

Senin, 11 Februari 2008

KEPITING REBUS SAUS TOMAT GORENG MENTEGA BUMBU BBQ

Inilah menu special terintegrasi hari ini......... Semburat terka menjadi cita rasa tersendiri.......... Sebuah matriks perasaan dan pemikiran yang kompleks......... Ditaburi kejutan garing di setiap potong harapan........ Tak perlu ada yang dipusingkan............ Cukup ambil yang dianggarkan dimensi peradabanmu............ Karena jika kau tidak disibukkan dengan hal-hal besar,............ Maka kau akan disibukkan dengan hal-hal kecil............ (11 feb 2008)

KOPI MALAM INI

(iwishiwillneverdrinkcoffeagain,3 feb 2008)

Harga Sebuah Matahari

“Kak, temanku ingin bergabung bersamaku di sini. Berapa harga menjadi sebuah matahari kecil di taman ini?” tanya seorang matahari kecilku. Sejenak aku terdiam. Bagaimana menghargakan sebuah matahari? Bukankah harusnya aku yang membayar kesedian mereka menyinari kebunku, memantulkan warna-warni hari-hariku, menyejukkan taman hatiku? Sedang, aku… siapa aku? Bukankah tak satupun dari para utusanNya meminta bayaran atas seruan yang mereka bawa? “Pernahkah selama ini kakak memintanya?” aku balik bertanya. “Tidak”, jawab sahabat kecilku itu. Kami pun mengakhiri pembicaran ini dengan senyuman. Berapa harga pengorbanan matahari kecilku, Aditya Dwiputra? Perjalanan malam dari kampung sebelah dan sebaliknya dengan sepeda adalah rutinitas yang perlu dia bayar untuk menjadi matahari kecil di taman ini. Seorang bocah berusia 10 tahun yang pernah kudapati sedang meringkuk dan meringis di pojok ruangan. Badannya yang memang lemah sejak kecil, ditambah hepatitis yang belum lama dia cicipi bukanlah penghalang baginya untuk datang. “Aku ga apa-apa. Cuma kedinginan saja. Aku masih bisa ngaji, kok…” jawabnya dengan wajah yang pucat. Berapa harga semangat sepasang matahari kecil, Budi dan Ihsan? Dua kakak beradik ini selalu bersemangat hingga tahun ke3 kebersamaannya di taman ini. Di seperempat awal malam di sini berarti mengurangi jatah bercengkrama mereka dengan ayah dan ibu mereka pada jam makan malam. Bukan apa-apa, jam kerja berjualan di pasar induk pada malam hari bagai lonceng yang memanggil kedua orang tua mereka sampai subuh. Tapi, itu tak mengapa. Bahkan, hujan lebat dan petir yang menggelegar tak merintangi kedua jagoan ini untuk tetap hadir pada suatu malam. Kedua matahari kecil itu duduk berhimpitan di sisi dinding, sambil bergetar dan berkata… “Hujannya besar. Kami takut. Tapi, kita tetap ngaji kan, kak?” Berapa harga kerinduan bocah 5 tahun asal Ambon, Adit gendut? Beberapa kali anak ini tidak hadir karena menemui orang tuanya yang tinggal di kampung halamannya, Ambon. “Kak Yudith ikut saja ke Ambon…” kata matahari kecil itu suatu ketika. Sekalinya dia berkesempatan hadir, wajahnya begitu ceria. Hingga suatu saat, ia dan kelurganya memutuskan untuk tinggal di bilangan Depok. Berbulan-bulan matahari kecil ini tak kunjung terbit. Tiba-tiba pada suatu malam, Adit dan pengasuhnya datang. “Di sana Adit nangis minta mau ke sini mulu. Mau ngaji katanya…” jelas pengasuhnya. Berapa harga sebuah perhatian yang manis, keikhlasan yang tulus, dan kejujuran yang polos? Matahari-matahari kecil yang selalu hadir menghantarkan semangat dari mata yang bening. Matahari-matahari yang menagih seruan kebaikan itu guna “membentuk” mereka. Mereka yang mampu menyeka air mataku pada suatu ketika dimana aku begitu lelah dan tidak berbentuk. “Kak Yudith, jangan menangis…” Masih ingat istilah objek dakwah yang menerima seruan Rasulullah saw? Junior? Nup! … Simpatisan? Nup! … Klien? Nup! ... Mad’u? Nup! ... Mentee? Nup! … Lebih dari itu… Yap, istilah yang begitu indah, prestise dan akrab: Sahabat. Sahabat-sahabat kecilku adalah matahari-matahariku. Menyinari dengan hangat taman belajar Alhuda kami. Ya, nama yang sengaja kubuat mirip dengan masjid di 14 dulu. Alhuda yang semoga menjadi perantara huda-Nya yang benderang menyinari kami dan lingkungan kami. Alhuda kami mungkin hanya sebentuk titik yang teramat kecil, sekecil titik dalam size terkecil dari font terecil yang bisa dituliskan sejarah kejayaan Islam. Namun, kisah kejayaan itu adalah untaian kata yang tersusun atas titik-titik kecil yang bersambungan dalam garis-garis huruf. Berapa harga sebuah matahari? Tak ternilai. Tapi, aku dan juga kamu yang harus menebusnya. Dengan apa? Harta dan jiwa. Maka, Allah yang akan membayarmu dengan syurga. Selalukah Matahari itu indah? Tidak juga. Mungkin akan ada senyum, tangis, suka, duka, luka, peluh, bahagia, dan kecewa yang mengiringi. Aku dan matahari-matahariku. Kamu dan matahari-mataharimu. Aku, kamu, dan kita semua yang berjalan beriringan di atas jenak-jenak peradaban ini. Semoga titik-titik kita bersambungan dalam cerita yang indah, yang dapat kita kenang bersama di jannahNya kelak. 05022008