Jumat, 07 Maret 2008
PEMUDA LINTAS MASA
“Juned…” seru Apa, kakekku, berulang-ulang. Tak perlu bingung mencari orang yang rela dipanggi Juned kala tak satu orang pun bernama Juned di rumahnya sore itu.Ya, Juned adalah Judith, Judith adalah Juned. Tak perlu ada bubur merah dan bubur putih. Terima saja. Bicara Apa memang sudah kelu setelah kesehatannya drop beberapa bulan yang lalu. Kami cukup kesulitan memahami setiap ucapannya. Acap kali beliau marah karena ketidakmengertian kami. Karenanya, kami harus berhati-hati, jangan sampai beliau kesal.______
Selain kelu, suaranya tak lagi lantang. Tubuhnya yang dulu begitu gagah, kini hanya bagian kanannya saja yang bisa digunakan. Apa turun dari kasurnya dan terduduk atas lantai. Tangannya kepayahan menggeser atau bahkan untuk sekadar menopang tubuhnya sendiri. Entah sudah berapa lama Apa bertahan pada posisi demikian sampai akhirnya saya datang menghampirinya. “Ya Allah… Apa mau kemana?”, tanyaku. Sebuah senyuman menghiasi wajahnya yang keriput. Binar matanya memancarkan semangat yang tak terpadamkan. “Sudah hapal…”, jawab Apa sambil menunjukan catatan Al-Fathihahnya… ______
Subhanallah… baru kemarin. Setibanya saya di rumahnya yang asri ini, Apa bercerita dengan lisannya yang kelu, bahwa hafalannya hilang seketika, “Mau sholat, tapi lupa…”. Saya tidak bisa memahami benar apa maksudnya. Yang jelas, beliau meminta Juned menuliskan lafaz surat Al-Fatihah dan terjemahnya pada sehelai kertas. “Ya… ya..”, ujar beliau gembira. Beliau beberapa kali meminta Juned membacanya. “Benar… benar,” begitu katanya setiap kali Juned selesai membacanya.______
Ah, Apa… Rasanya juga seperti baru kemarin beliau dengan gagah mengisahkan perjuangannya saat muda mempertahankan Bandung Selatan kala peristiwa lautan api berlangsung. Atau, serunya beliau mendengarkan langsung orasi Bung Karno di lapangan Banteng sambil memekikkan kata “merdeka!”. Saya juga masih merekam jelas lisannya menceritakan lembar demi lembar buku “Di Bawah Bendera Revolusi” buah karya idola dan mas’ulnya saat itu. Orde lama benar-benar sangat berpengaruh bagi mantan tentara PETA ini. Loyalitas yang begitu kuat, pemikiran yang begitu lekat, semangat yang begitu pekat. Sayangnya, zamannya tidak kuasa membangun keperkasaan ruhani yang gagah…______
Buku-buku nasionalis dan fisafat adalah fitur utama koleksinya. Bi’ah islam sama sekali tidak mendominasi keluarga yang ia bangun. Ukhrawi adalah prioritas ke sekian. Kebahagian keluarga adalah orientasi utama. Salahkah? Tidak juga. Hanya saja terlalu fana dan gersang. Barulah setelah anak-anaknya berkeluarga, tepatnya setelah masa “reviva” tarbiyah di Indonesia pada 2 dekade terakhir ini, ruh islam itu baru sedikit berhembus. Dimulainya era “keterbukaan” akhirnya semakin menguatkan sentuhan dan penerimaan dakwah. Disadari atau tidak, umat adalah saksi perbaikan ini…_____
Pemuda memang rahasia kekuatan dari setiap kebangkitan. Setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing. Setiap marhalah, ada rijalnya tersendiri. Namun, setiap karya dibatasi waktu sebagaimana masa muda yang sementara saja. Kemanapun telah kau langkahkan kakimu… Bersiaplah karena kita pernah tahu kapan perjalanan kita akan berakhir pada batas yang tiada akhir. Bukankah sebaik-baik amal adalah yang di akhir? Semoga kita dapat mengakhiri hidup ini dalam keadaan yang baik. Allahumma inna nas-aluka husnul khatimah… (Bandung,070308. Semoga Allah sll sayang)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar